Semua Butuh Waktu
oleh:Muhammad Baston 'Abqori
Rimbun embun menyemai
kesegaran atmosfer pagi.Disana,matahari mengintip malu bertutup deretan pohon
jati.Sinarnya menimpa buram permukaan.Hangat.Cukup buatku tuk mendobrak
semangat sepagi ini.
Kau perlu tahu,hari ini
merupakan momen bersejarah dalam hidupku.Momen yang tak selalu dimiliki orang-orang.Iya,hari ini pertama kalinya aku berangkat mondok.
“Jadilah anak yang patuh,anakku.Senantiasa doakan mamak di rumah.”
Kuingat beberapa patah kata terlontar dari bibir lemah Mamak. Pita suaranya tak sanggup memberi wejangan aneh-aneh. Habis ditelan tangis semalaman. Jangan tanya mata mamakku,pucat penuh kesenduan.Sedih akan ditinggal putra semata wayangnya.Tepian kedua matanya seolah menggambarkan kemarau panjang,kering berkeriput.
Kuingat beberapa patah kata terlontar dari bibir lemah Mamak. Pita suaranya tak sanggup memberi wejangan aneh-aneh. Habis ditelan tangis semalaman. Jangan tanya mata mamakku,pucat penuh kesenduan.Sedih akan ditinggal putra semata wayangnya.Tepian kedua matanya seolah menggambarkan kemarau panjang,kering berkeriput.
Sekali lagi.dengan tekad bulat menuntut
ilmu, aku mendeklarasikan :Ini hari pertama kalinya aku berangkat mondok.
...
“Nabil!,”seru seorang
santri melangkah mendekat kearahku,memecah keheningan lamunan.Spontan aku
menoleh ke arah datangnya suara sembari memperbaiki duduk.Belum genap aku
menjawab sapaan santri di hadapanku,mulutnya lebih dulu menyahut,
“Di aula,”santri di
hadapanku nampak terangah kecil,”seluruh santri baru diminta ke aula sekarang
juga.Acara ta’arufan.”,kata santri berwajah teduh yang kini mengulum senyum.Dibantu
gerak-gerinya, aku bisa menyimpulkan bahwa dia adalah seorang santri senior.
Aku bergeming belum mengerti
situasi.Bayangkan, baru beberapa menit lalu aku menata barang-barang bawaan ke
almari,seseorang datang tiba-tiba dengan membawa berita mengejutkan.
“Tak perlu ragu,”tambahnya
melambai kearahku,”namaku Rizki .Aku tahu namamu karena aku ketua panitia
penerimaan santri baru.”,ucapnya menjulurkan telapak tangan.
Aku membalas hangat sapaan
tangannya ,”Nabil.”,kataku mencoba tersenyum.Senang mendapat teman baru secepat
ini.
“Ayo buruan ,entar
ketinggalan!”,komando Rizki kembali.
Okelah,”jadilah anak yang
patuh”.Setidaknya,itu kata Mamak yang masih menghujam kuat di ingatanku.Aku pun
bergegas memunggungi Rizki,beranjak menuju aula pondok.
...
“Perkenalkan,nama lengkapku adalah Muhammad Robith Fauzi. Muhammad dinisbatkan kepada nama baginda kita,Nabi Muhammad dengan arti mulia:yang dipuji-puji. Robith memiliki arti penyambung atau penghubung. Sedangkan Fauzi berarti kemenangan ataupun keberuntungan.Kalian boleh memanggilku Robith. Atau kalau tidak,namaku dapat agak diinggris-inggriskan menjadi Robert.”,tutur panjang santri baru yang tengah memegang microphone.
Seketika ruangan dipenuhi sorak-sorai
para santri.Beberapa tertawa.Riuh bercengkrama.Lebih banyak dari mereka nyeloteh,mengolok
santri yang mengaku dirinya bernama Robert.
Bagaimana denganku?Kupastikan
tanganku sedang dilanda gemetar hebat.Lihatlah!Filosofi nama panjang rizki amat
menakjubkan.Tak terhitung berapa kali aku menengok arloji tangan yang seolah
detiknya tak bergerak,macet menunjukkan pukul sembilan pagi.
Namaku? Astaga! namaku hanya
sebongkah saja.Tak lebih,tak kurang. Nabil.Itu satu-satunya nama yang
disematkan mamak kepadaku.Lantas apa yang akan diselorohkan para santri lama
nanti?
Sementara pikiran kalutku
menyeruak rusuh,Robith perlahan menyelesaikan ta’arufnya.Mulai tempat
tinggal,hobi, dan beberapa identitas lain dengan rekomendasi bebas para santri
lama.Dengan salam penutup,Robith beranjak duduk di barisan santri baru.
Dengung speaker aula
kembali menggema dipawangi seorang moderator-yang tentu juga santri-.Dengan
suara sedikit berderak,moderator tadi melambai mempersilahkanku maju.Membuatku
berjuang menegakkan kaki, berdiri dengan keberanian yang tersisa.
“Nama...”,rumpang kata
kuucapkan,sorak-sorai santri kembali bergemuruh.Mengarak tawa lepas para
santri.Dengan serempak mereka berteriak mengeja,
“Assalaamu’alaikum
warohmarullaahi wabarokaatuh”
Aku malu bukan kepalang.Kelupaan
membuka salam.Rasa percaya diri yang kubangun, ambruk seketika.Mulutku
kelu.Pandanganku mulai goyah.Lihatlah,ini bahkan masih pembuka,belum bagian
nama.Tapi tawa mereka telah memberondong deras telingaku.Membuatku kikuk.
Sabar menunggu gelak para
santri reda,kusempatkan menarik nafas sedalam mungkin.Mengatur gelagat tingkah.
“Oke,”,kataku beberapa
detik kemudian.Kulihat satu-dua santri masih tak kuasa menahan cekikikan.
“ Assalaamu’alaikum
warohmarullaahi wabarokaatuh”,Salamku menyelamatkan panggung.Syukurlah mereka
menjawab salamku kompak.
“Perkenalkan,namaku Nabil.Hanya
itu.”
Persis seperti yang
kukira,mereka sontak memegangi perut mereka.Menggilas tawa yang tak jelas
dimana titik kelucuannya.Tawa mereka semakin membuncah ketika seorang santri
berceloteh,
“Sudah satu kata,pasaran
lagi.Hahaha,ibunya kehabisan kosakata”,lantangnya disusul tawa mengejek.
Aku tak tahan.Di mana yang
katanya pondok pesantren.Jelas-jelas penghuninya biadab plus tak beretika.Menganggap
anak baru terlampau fana’ nan hina,hingga pantas untuk dipermalukan.
Aku muak.Kubanting
gemas microphone itu ke genggaman moderator ,lantas berlari meninggalkan aula
dengan perasaan tak karuan.Mengapa semuanya salah?
...
Aku menangis
Di sudut kamar nomor 6
,keheningan menjadi saksi isak tangisku.Tempurung otakku mendidih,mengutuk segala
takdir yang telah dititahkan-Nya.
”Tega sekali Kau,Allah!”,bentakku dengan suara tercekat.
Di waktu bersamaan ,bulir-bulir air mata mengalir tak tertahankan.Beruntung Rizki datang menghampiriku lagi,menghibur.
”Tega sekali Kau,Allah!”,bentakku dengan suara tercekat.
Di waktu bersamaan ,bulir-bulir air mata mengalir tak tertahankan.Beruntung Rizki datang menghampiriku lagi,menghibur.
“Tak apa”,lirih Rizki
setengah berbisik,memegang halus pundakku yang membungkuk.
“Aku tahu,ini pertama
bagimu.Menjemput tekad dengan awal menjerat.Aku tahu itu,Nabil.”,Rizki diam
sejenak,membiarkan bulir air mataku menggelinding ke sela-sela leher.
Aku masih
merunduk.Menunggu kalimat lanjutan Rizki.Dia satu-satunya kenalanku saat ini.Itu
berarti dia juga satu-satunya penghiburku.
“Ah,aku tak akan
menyampaikan ceramah ataupun khotbah kali ini,tentu kau sedang gundah,kan?Begini
saja,boleh aku memberimu saran?”,tanyanya lembut menerpa.
Sebagai jawaban ,aku
mengangguk kecil.
Rizki menyimpul senyum,lega
akan tanggapanku.”Duhai nabil,tatkala malam tiba,sempatkanlah dirimu
mengerjakan sholat malam.semoga tak lama relung hatimu akan membaik”,ucap Rizki
tulus ,sebelum punggungnya lenyap di balik daun pintu.Meninggalkanku sendirian.
Oke,aku memang harus
berusaha menjalani alur ini dengan maksimal.Ini belum waktunya menyerah,bahkan
ini belum dimulai.Begitulah,kumantapkan tekad,kuusap sisa derai air mataku.
Sholat malam,tunggu aku.
...
Kejadian di aula pondok
membuat namaku tersiar secepat kilat,menjalar seantero pondok.Cobalah sebut
namaku di kerumunan para santri,niscaya tawa lebar mereka menganga
kembali.Saling menceritakan tragedi bodoh itu.
Tak pelak,hal itu juga telah
membuatku cepat mendapat kenalan baru. Acara ta’arufan selesai tepat sewaktu Rizki
beranjak pergi dari kamarku.Para santri-khususnya santri baru-ramai
mengerumuniku.Mereka tercengang atas kelakuanku beberapa menit yang lalu.Satu-persatu
bergilir bersalaman.saling bertukar nama.Juga tawa.
Perasaan senang mendapat banyak kawan menyelusup dengan
cepat.Membuatku lebih nyaman.Sigap semili merenggangkan sesak dadaku saat ini.Ternyata
pondok tak begitu buruk,pikirku selintas.
...
...
Aku jatuh ke buaian mimpi
kira-kira pukul empat pagi.semalam suntuk aku bersimpuh doa.Berusaha kumencoba
mengikuti tetuah Rizki.Qiyamul lail, meminta penjelasan terbaik dari segala
ketentuan Yang Mahaadil.
Adzan subuh merebak retak di angkasa.Bedug
berdentum di pukul bertalu-talu.Memaksa para santri membongkar rangkaian
mimpi.Aku masih terkulai lemah.Mengantuk berat.Bahkan aku merasa,semalam aku
belum tidur.
Suara pembimbing pondok
tangkas menggertak pecandu mimpi yang masih malas-malasan.Dengan bantuan
semprotan air,ritual pembangunan santri terbilang efektif dan cepat.Aku pun
bersiap-siap melaksanakan sholat subuh berjamaah.Gontai berjalan ke tempat
wudhu.
Pengajian perdana kitab
‘ta’limul mutaallim’ yang digelar usai sholat subuh berjalan penuh khidmat.Jujur
saja,aku belum mahir memaknai pegon (aksara arab berbahasa jawa),meskipun
sedikit banyak prosedur penulisannya telah kukuasai.
Menjelang pukul enam,peserta pengajian serempak bergumam:
والله أعلم بالصواب
Aku baru tahu,itulah rangkaian
kalimat yang selalu dirindukan santri.Pertanda bahwa pengajian kitab kuning
telah selesai ditutup.Para santri berdesakan berlomba mencium tangan Pak Kyai.Selepas
itu,mereka kembali ke kamar masing-masing dengan menenteng hormat kitab yang
dibawa.
Aku mengantuk.Dua kata yang
cukup menjadi alasanku merebah mesra di atas matras.Menunggu pelupuk terbenam
sendirinya.Menenggak beban-beban mata dan pikiran yang tak bosan menggantung.
Tiba-tiba,
KLONTANG!
Teko logam meluncur bebas ke
sudut kamar.Mengarah deras mengantam tembok di sisiku.Berdenting ramai.Menyedot
perhatian santri lain yang tengah beraktivitas.Aku terjungkal terbangun dari
posisi setengah tidur,terkejut bukan main.Belum sadar apa yang terjadi,bentakan
menggelegar datang menyusul,
“Anak baru kerjanya tidur melulu.Kerja
bakti sana! Ambil air!”,suara menggetar seorang santri senior berperawakan besar
membuatku bergidik ngeri.
Alih-alih jawaban patuh yang
di gumamkan mulutku,mataku lebih dulu menjawab.Iya,kau benar,dengan derai
tangis.Aku masih kecil.Pun aku masih baru.Sempurna belum mampu menerima semua
kenyataan pahit ini.Mana salah mana
benar,aku belum paham.
Kejadian memilukan itu
mengajak kakiku tuk menemui Rizki.Ditemani rembetan air dipipi,aku mencarinya.
“ada apa?”,Tanya rizki tepat
ketika aku berhasil menemukannya di kantor.Dia menenangkanku sebisa mungkin.Menyuruhku
duduk terlebih dahulu
Aku tak menjawab.Diam membatu.Antara
ingin mengadu atau tidak.
“Ssst...Tak perlu menangis”,kedua
tangan Rizki menangkup lembut sepasang bahuku.
“kenapa pondok pesantren begitu
mengerikan.Kejam.Kenapa?!"Tumpahku.
"Santri?Makhluk apalah itu.Mereka hanyalah sebutan bagi orang-orang munafik!”,teriakku keras.Entah dari mana kata-kata itu bisa menguar dari
mulutku.
"Dengan bualan sarung dan peci,puaskah mereka berkelit di balik rekayasa?Berapa rantai kepalsuan yang telah mereka sumbangkan di negeri ini?",cercaku menghujan.
Rizki membiarkanku meluapkan
segala emosi dan pikiran bebalku yang terpendam.
“Aku ingin keluar,Rizki.apapun
yang terjadi aku ingin berhenti mondok!”,bentakku sesenggukan.Masih dihiasi
tangisan menderu.
Rizki menghirup sejenak nafas
prihatin.Paham akan situasi yang menimpa diriku.Turut bersedih.Dia menatapku
penuh simpati,sebelum utaian kata rapi disulamnya.
“Nabil,”,mulainya halus,wajah
teduhnya mengguratkan kharisma yang elok.Dia menegakkan tubuhku yang tengah
merunduk tersedu-sedu.
“Kamu ingat apa tujuanmu kemari,Nabil?
Ayolah,kamu pasti ingat.Menuntut ilmu,setidaknya itulah tujuan paten setiap
santri yang menimba pengalaman di pondok.” Tuturnya dengan ritme dan intonasi
sangat rendah.
“Pondok pesantren tak jahat
,Nabil.Para santri pun tak demikian.Mereka sungguh berperasaan.Mencurahkan
perhatian utuh kepada santri lain.”,Rizki diam sejenak.Sedangkan aku merasa tak
terima dengan omong kosongnya.Mana yang dianggap berperasaan,coba?
“Rasa sayang dan perhatianlah
yang membuat mereka bertindak seperti itu,Nabil .Mereka menyayangimu layaknya saudara
sendiri.Namun cara mereka mengekspresikan perasaan itulah yang berbeda-beda.”,jelas
Rizki menarik sedikit demi sedikit kelegaanku.
“itulah yang membedakan pondok
dengan lembaga pendidikan lain.Kemandirian,keberanian bersosial,penempaan
mental baja,kesadaran bersaudara,dan masih banyak nilai kehidupan yang termuat di dalamnya.
“Kamu hanya perlu menerimanya,itu
kuncinya.Rentangkan sayap hatimu.Biarkan kesabaranmu menyamudra.Mengalirlah bak
sungai yang mengharapkan laut.Cukup ikuti alur,taati segala perintah
kebajikan,dan kuyakin kamu akan terbiasa.”tutup Rizki memejamkan matanya
sedetik.Kulihat pelupuknya mengkilat terlapis air mata.Terbawa perasaan.
Apakah Rizki benar?
Aku tersadar.Kata-kata Rizki sepenuhnya benar,ikuti alur.Aku yang salah.Melulu menilai pondok.Mereka
membantuku menyiapkan mental tertebal yang pernah ada.Mereka membimbingku
merajut kedisiplinan agar selalu siap di masa mendatang.Juga,merekalah yang menyapihku agar menjadi orang berbudi pekerti luhur.
Ampuni aku ,Ya Allah,selalu
mengumpat ketetapan yang Kau berikan.
Atas nama pondok,Maafkan aku ,Pak
Kyai, teman-teman.Aku terlampau gegabah menilai kalian,menganggap kalian
makhluk-makhluk nista yang bersembunyi di balik kemunafikan gaya.
Terakhir,maafkan Nabil ,Mak.Belum
bisa menjadi anak yang patuh sesuai harapan Mamak.
...
Bantul
16\11\2018
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSubhanallaah,Bangga sekali punya Gus multitalenta. Alhamdulillah.
BalasHapusBagus👍👍,sy tebak ntar nabil sma riski kk adk an😂😂,tradisi pesantren
BalasHapusMasya Allah...bagus banget ceritanya...
BalasHapusSangat inspiratif...👍
Subhanallah bagus banget cerpennya. Di tunggu kelanjutannya 😁😁
BalasHapusDitunggu karya selanjutnya 😃
BalasHapusMasyaAllah...
BalasHapusWwoowwww!!!
BalasHapusWwoowwww!!!
BalasHapusBersyiar melalui karya sastra. Good job!!! Semoga berjaya ��
BalasHapus😀😀😀😀👍
BalasHapusAlfu mabruk, lanjutkan cerpen berikutnya
BalasHapusLanjutkan
BalasHapusBarakallahu fiik mas Baston
BalasHapusthis short story is probably not a bit of a problem if if you have a stable elementary school child who just stays.
BalasHapusbut this is also good. keep on baston
ما اجمل هذه القصة
BalasHapus👍
BalasHapusBagus,cerpen yg inspiratif 👍
BalasHapusBagus,cerpen yg inspiratif 👍
BalasHapusMasya allah
BalasHapus